Rabu, 03 Juni 2009

HARI RAYA (BABAD / SEJARAH HARI RAYA GALUNGAN )

Hari Raya Galungan (Budha Kliwon Dungulan)

Sejarah Hari Raya Galungan masih merupakan misteri. Dengan mempelajari pustaka-pustaka, di antaranya Panji Amalat Rasmi (Jaman Jenggala) pada abad ke XI di Jawa Timur, Galungan itu sudah dirayakan. Dalam Pararaton jaman akhir kerajaan Majapahit pada abad ke XVI, perayaan semacam ini juga sudah diadakan.
Menurut arti bahasa, Galungan itu berarti peperangan. Dalam bahasa Sunda terdapat kata Galungan yang berarti berperang.

Parisadha Hindu Dharma menyimpulkan, bahwa upacara Galungan mempunyai arti Pawedalan Jagat atau Oton Gumi. Tidak berarti bahwa Gumi/ Jagad ini lahir pada hari Budha Keliwon Dungulan. Melainkan hari itulah yang ditetapkan agar umat Hindu di Bali menghaturkan maha suksemaning idepnya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi atas terciptanya dunia serta segala isinya. Pada hari itulah umat angayubagia, bersyukur atas karunia Ida Sanghyang Widhi Wasa yang telah berkenan menciptakan segala-galanya di dunia ini.

Ngaturang maha suksmaning idép, angayubagia adalah suatu pertanda jiwa yang sadar akan Kinasihan, tahu akan hutang budi.

Yang terpenting, dalam pelaksanaan upakara pada hari-hari raya itu adalah sikap batin. Mengenai bebanten tidak kami tuliskan secara lengkap dan terinci. Hanya ditulis yang pokok-pokok saja menurut apa yang umum dilakukan oleh umat. Namun sekali lagi, yang terpenting adalah kesungguhan niat dalam batin.

Dalam rangkaian peringatan Galungan, pustaka-pustaka mengajarkan bahwa sejak Redite Pahing Dungulan kita didatangi oleh Kala-tiganing Galungan. Sang Kala Tiga ialah Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulan dan Sang Bhuta Amangkurat. Disebutkan dalam pustaka-pustaka itu: mereka adalah simbul angkara (keletehan). Jadi dalam hal ini umat berperang, bukanlah melawan musuh berbentuk fisik, tetapi kala keletehan dan adharma. Berjuang, berperang antara dharma untuk mengalahkan adharma. Menilik nama-nama itu, dapatlah kiranya diartikan sebagai berikut:

1. Hari pertama = Sang Bhuta Galungan.
Galungan berarti berperang/ bertempur. Berdasarkan ini, boleh kita artikan bahwa pada hari Redite Pahing Dungulan kita baru kedatangan bhuta (kala) yang menyerang (kita baru sekedar diserang).
2. Hari kedua = Sang Bhuta Dungulan.
Ia mengunjungi kita pada hari Soma Pon Dungulan keesokan harinya. Kata Dungulan berarti menundukkan/ mengalahkan.
3. Hari ketiga = Sang Bhuta Amangkurat
Hari Anggara Wage Dungulan kita dijelang oleh Sang Bhuta Amangkurat. Amangkurat sama dengan menguasai dunia. Dimaksudkan menguasai dunia besar (Bhuwana Agung), dan dunia kecil ialah badan kita sendiri (Bhuwana Alit).

Pendeknya, mula-mula kita diserang, kemudian ditundukkan, dan akhirnya dikuasai. Ini yang akan terjadi, keletehan benar-benar akan menguasai kita, bila kita pasif saja kepada serangan-serangan itu. Dalam hubungan inilah Sundari-Gama mengajarkan agar pada hari-hari ini umat den prayitna anjekung jnana nirmala, lamakane den kasurupan. Hendaklah umat meneguhkan hati agar jangan sampai terpengaruh oleh bhuta-bhuta (keletehan-keletehan) hati tersebut. Inilah hakikat Abhya-Kala (mabiakala) dan metetebasan yang dilakukan pada hari Penampahan itu.

Menurut Pustaka (lontar) Djayakasunu, pada hari Galungan itu Ida Sanghyang Widhi menurunkan anugrah berupa kekuatan iman, dan kesucian batin untuk memenangkan dharma melawan adharma. Menghilangkan keletehan dari hati kita masing-masing. Memperhatikan makna Hari Raya Galungan itu, maka patutlah pada waktu-waktu itu, umat bergembira dan bersuka ria. Gembira dengan penuh rasa Parama Suksma, rasa terimakasih, atas anugrah Hyang Widhi. Gembira atas anugrah tersebut, gembira pula karena Bhatara-bhatara, jiwa suci leluhur, sejak dari sugi manek turun dan berada di tengah-tengah pratisentana sampai dengan Kuningan.

Penjor terpancang di muka rumah dengan megah dan indahnya. Ia adalah lambang pengayat ke Gunung Agung, penghormatan ke hadirat Ida Sanghyang Widhi. Janganlah penjor itu dibuat hanya sebagai hiasan semata-mata. Lebih-lebih pada hari raya Galungan, karena penjor adalah suatu lambang yang penuh arti. Pada penjor digantungkan hasil-hasil pertanian seperti: padi, jagung, kelapa, jajanan dan lain-lain, juga barang-barang sandang (secarik kain) dan uang. Ini mempunyai arti: Penggugah hati umat, sebagai momentum untuk membangunkan rasa pada manusia, bahwa segala yang pokok bagi hidupnya adalah anugrah Hyang Widhi. Semua yang kita pergunakan adalah karuniaNya, yang dilimpahkannya kepada kita semua karena cinta kasihNya. Marilah kita bersama hangayu bagia, menghaturkan rasa Parama suksma.
Kita bergembira dan bersukacita menerima anugrah-anugrah itu, baik yang berupa material yang diperlukan bagi kehidupan, maupun yang dilimpahkan berupa kekuatan iman dan kesucian batin. Dalam mewujudkan kegembiraan itu janganlah dibiasakan cara-cara yang keluar dan menyimpang dari kegembiraan yang berdasarkan jiwa keagamaan. Mewujudkan kegembiraan dengan judi, mabuk, atau pengumbaran indria dilarang agama. Bergembiralah dalam batas-batas kesusilaan (kesusilaan sosial dan kesusilaan agama) misalnya mengadakan pertunjukkan kesenian, malam sastra, mapepawosan, olahraga dan lain-lainnya. Hendaklah kita berani merombak kesalahan-kesalahan/ kekeliruan-kekeliruan drsta lama yang nyata-nyata tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran susila. Agama disesuaikan dengan desa, kala dan patra. Selanjutnya oleh umat Hindu di Bali dilakukan persernbahyangan bersama-sama ke semua tempat persembahyangan, misalnya: di sanggah/ pemerajan, di pura-pura seperti pura-pura Kahyangan Tiga dan lain-lainnya. Sedangkan oleh para spiritualis, Hari Raya Galungan ini dirayakan dengan dharana, dyana dan yoga semadhi.

Persembahan dihaturkan ke hadapan Ida Sanghyang Widhi dan kepada semua dewa-dewa dan dilakukan di sanggah parhyangan, di atas tempat tidur, di halaman, di lumbung, di dapur, di tugu (tumbal), di bangunan-bangunan rumah dan lain-lain.
Seterusnya di Kahyangan Tiga, di Pengulun Setra (Prajapati), kepada Dewi Laut (Samudera) Dewa Hutan (Wana Giri) di perabot-perabot / alat-alat rumah tangga dan sebagainya.

Widhi-widhananya untuk di Sanggah/ parhyangan ialah: Tumpeng penyajaan, wewakulan, canang raka, sedah woh, penek ajuman, kernbang payas serta wangi-wangian dan pesucian. Untuk di persembahyangan (piasan) dihaturkan tumpeng pengambean, jerimpen, pajegan serta dengan pelengkapnya. Lauk pauknya sesate babi dan daging goreng, daging itik atau ayarn, dibuat rawon dan sebagainya. Sesudah selesai menghaturkan upacara dan upakara tersebut kemudian kita menghaturkan segehan tandingan sebagaimana biasanya, untuk pelaba-pelaba kepada Sang Para Bhuta Galungan, sehingga karena gembiranya mereka lupa dengan kewajiban- kewajibannya mengganggu dan menggoda ketentraman batin manusia.
Demikianlah hendaknya Hari Raya Galungan berlaku dengan aman dan diliputi oleh suasana suci hening, mengsyukuri limpahan kemurahan Ida Sanghyang Widhi untuk keselamatan manusia dan seisi dunia. Pada hari Saniscara Keliwon Wuku Kuningan (hari raya atau Tumpek Kuningan), Ida Sanghyang Widhi para Dewa dan Pitara-pitara turun lagi ke dunia untuk melimpahkan karuniaNya berupa kebutuhan pokok tersebut.
Pada hari itu dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia (umat) menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Di dalam tebog atau selanggi yang berisi nasi kuning tersebut dipancangkan sebuah wayang-wayangan (malaekat) yang melimpahkan anugrah kemakmuran kepada kita semua.
Demikian secara singkat keterangan-keterangan dalam merayakan hari Raya Galungan dan Kuningan dalam pelaksanaan dari segi batin.

Kesimpulan:

* Dalam menyambut dan merayakan hari-hari raya itu, bergembiralah atas anugrah Hyang Widhi dalam batas-batas kesusilaan agama dan keprihatinan bangsa.
* Terangkan hati, agar menjadi Çura, Dira dan Deraka (berani, kokoh dan kuat), dalam menghadapi hidup di dunia.
* Hemat dan sederhanalah dalam mempergunakan biaya.
* Terakhir dan bahkan yang terpenting ialah mohon anugrah Hyang Widhi dengan ketulusan hati.

Om, sampurna ya nama swaha.
Om, sukham bhawantu.

Diringkas oleh I.P.ROMY JUNIARTHA

TATWA

Perkembangan aliran Siwa Bhairawa di Bali

Sekilas Tentang Sekte sekte Hindu di Bali dan Dunia Purana Bali Dwipa mengisahkan, yang menyertai menyerang Raja Mayadanawa adalah sekte Bayu, Sambu, Brahma Rudra, dan Mahesora. Keterangan ini sesuai dengan yang disebutkan I Wayan Warna dkk dalam buku Usana Bali Usana Jawa (1996). Sedangkan Dr R Goris dalam buku Sekte-sekte di Bali (1974) menyebutkan ada sembilan sekte yang dilebur dan dipersatukan MpuKuturan pada waktu pemerintahan Raja Udayana menjadi tiga, yaitu Siwa, Budha, dan Waisnawa. Kesembilan sekte itu adalah:

1.Brahmana. Di India disebut Smarta, tetapi sebutan Smrta tidak dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, Purwadigama, Kutara, Manawa yang bersumberkan Manawa Dharmasastra merupakan produk sekte Brahmana.
2 Bodha atau Sogatha, di Bali dibuktikan dengan adanya penemuan mantra Budha tipe yete mantra dalam zeal meterai tanah liat yang disimpan dalam stupika. Stupika seperti itu banyak diketahui di Pejeng, Gianyar. Menurut penelitian Dr WF Stutterheim itu merupakan mantra Budha aliran Mahayana yang diperkirakan sudah ada di Bali abad ke-8Masehi. Terbukti dengan adanya arca Bodhisatwa di Pura Genuruan (Bedulu), arca Bodhisatwa Padmapatni di Pura Galang Sanja (Pejeng), arca Boddha di Goa Gajah, dan di tempat lain.
3. Bhairawa, sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa Utama. Pemujaan terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di tiap desa adat di Bali merupakan pengaruh sekte ini. Begitu pula pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh sekte ini. Sekte ini merupakan salah satu sekte wacamara (aliran kiri Tantra) yang mendambakan kekuatan magis dan bermanfaat untuk kekuasaan duniawi.
4. Ganapatya, kelompok pemuja Dewa Ganesa. Keberadaan sekte ini di Bali terbukti dengan banyaknya didapatkan arca Ganesa, baik dalam wujud besar maupun kecil. Ada dibuat dari batu padas maupun logam, tersimpan dalam beberapa pura di Bali. Fungsi arca Ganesa sebagai Wigna, penghalang gangguan. Karenanya, patung Ganesa diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap bahaya. Ada caru dengan nama sama.
5. Pasupata, juga merupakan sekte pemuja Siwa. Bedanya dengan Siwa Shidanta terutama dalam cara pemujaan. Pemujaan sekte Pasupata menggunakan lingga sebagai simbol tempat turun atau berstana Dewa Siwa. Jadi, penyembahan lingga sebagai lambang Siwa merupakan ciri khas sekte Pasupata.
6. Rsi. Arkeolog R Goris memberi uraian sumir dengan menunjuk kenyataan, bahwa diBali Rsi adalah seorang dwijati yang bukan berasal dari wangsa brahmana. Istilah dewarsi atau rajarsi pada orang Hindu merupakan orang suci di antara raja-raja dari wangsa ksatria.
7. Sora, memuja Surya sebagai Dewa Utama. Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut Suryasewana dan dilakukan pada waktu matahari terbit serta terbenam, merupakan ciri penganut sekte Sora. Kalau sembahyang di pura mesti diawali dengan muspa ke Surya.
8. Waisnawa, di Bali jelas diberikan petunjuk dalam konsepsi agama Hindu, yakni tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rezeki, kebahagiaan, dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali, Dewi Sri dipandang sebagai Dewa padi, yang merupakan keperluan hidup paling utama.
9. Siwa Sidantha, cabang dari Siwa. Walaupun Siwa Sidantha mempunyai pengikut terbanyak, tapi dalam peleburan kesembilan sekte di Bali itu, yang di putuskan adalah pokoknya, Siwa. Jadi, agama Hindu di Bali adalah Siwa, Budha, dan Waisnawa sesuai dengan keputusan pertemuan di Samuhan Tiga yang dipimpin Mpu Kuturan. Siwa, Budha, dan Waisnawa ini yang disatukan menjadi agama Hindu yang bersumber pada pustaka suci Weda.

Mengenai sampradaya di India, sejatinya gerakan Bhakti terjadi di India tahun 1200-1800 M. Saat itu India dikuasai dan dijajah Sultan Islam hampir seribu tahun, dari abad IX sampai abad XIX. Sejalan dengan perjalanan waktu, maka ide-ide Islam dan ajaran-ajaran Islam mempengaruhi pemimpin-pemimpin Hindu dan filsafat Hindu secara langsung dan tak langsung. Ide-ide Islam membantu tumbuhnya perkembangan gerakan yang liberal dan mengajarkan ajaran-ajaran monotheisme (percaya hanya pada satu Tuhan), anti terhadap penyembahan patung, dan semua orang adalah saudara dengan hak sama (manusia pada).

Pada zaman ini pula ditandai adanya perkembangan berbagai sistem dalam filsafat Hindu serta tumbuhanya berbagai mazab baru dalam agama Hindu, terutama dari golongan Waisnawa Wedanta melakukan Gerakan Bhakti (Bhakti Movement). Bhakti Movement yang muncul pada zaman ini menekankan ajaran mereka pada kesamaan hak dan kedudukan pada masyarakat (manusia pada), dan memegang teguh bahwa martabat manusia tergantung pada tindakan mereka. Bukan pada kelahiran. Ajaran Bhakti Movement yang penting adalah: harus percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa; penyerahan diri secara tulus iklas (bhakti); pentingnya kedudukan seorang guru/swami/baba; percaya semua manusia adalah sama (manusia pada); mengutuk adanya adat agama yang palsu; dan mengutuk ajaran ber-tirtayatra. Guru Nanak adalah salah satu penganjur gerakan Bhakti, yang bergerak dalam bidang agama dan sosial. Guru Nanak merupakan seorang reformis mazab Waisnawa, bertujuan mengajarkan ajaran Waisnawa yang bebas dari praktek penyembahan patung, bebas dari kasta, dan bebas pula dari segala takhayul. Agama yang didirikan Guru Nanak dinamakan Sikh, bertujuan mempersatukan ajaran Islam dengan agama Hindu, sekaligus mempersatukan kedua umat beragama itu. Reformis terkenal lain bernama Kabir, mengajarkan agama berdasarkan cinta kasih, dengan tujuan mengembangkan persatuan antarasemua kasta dan agama. Ia menentang praktek penyembahan patung upacara agama dan yajna (korban suci), serta menekankan ajaran kesamaan hak di antara manusia (manusia pada).
Pemimpin paling terkenal Bhakti Movement yang semata-mata bergerak dalam bidang agama adalah Chaitanya. Chaitanya menyebarkan ajaran cinta kasih Krisna. Ajaran-ajarannya disebarkan berdasarkan kasih sayang, bhakti, nyanyian, dan tarian. Menurut Chaitanya, keadaan kebahagiaan yang luar biasa dapat direalisasikan, bisa dicapai dalam hubungan dengan Krisna. Setelah meninggal Chaitanya dipuja sebagai awatara Krisna. Sedangkan muridnya dianggap sebagai angsaawatara Krisna. Chaitanya disebut juga Mahaprabhu. Sedangkan guru-guru yang masih hidup yang meneruskan ajaran-ajarannya disebut dengan nama Goswami atau diberikan gelar Prabhu. Misalnya, Swami Bhakti Siddhanta, guru Prabhupada pendiri ajaran Hari Rama Krisna di New York, Amerika Serikat.

Mazab ini dari Amerika menyebar ke seluruh dunia termasuk ke India dan Indonesia. Di Indonesia mazab ini di sebut Hari Rama Hari Krisna atau Krisna Balaram. Raja Ram Moham Roy, pemimpin gerakan Hindu Modern yang disebut Brahmo Samaj, mendasarkan ajaran-ajarannya pada sintesa ajaran Wedanta (Upanisad) dengan ajaran Islam, Kristen, dan pemikiran liberal dari orang Eropa Modern, serta menentang pemujaan patung. Gerakan Hindu Modern yang datang kemudian (1800 sampai sekarang) berpandangan bahwa agama Hindu harus direformasi, apalagi ingin menghadapi penyerangan angresif dari agama-agama lain.

Prinsip-prinsip ajaran mereka, seperti: tak menerima upacara adat agama Hindu; menolak semua pelaksanaan agama Hindu yang tidak bersifat logis, seperti takhayul, magic, dan lain-lain; tak mau menerima adat istiadat yang kaku, yang kurang masuk akal di kalangan umat Hindu; menolak semua ajaran para pendeta yang tidak masuk akal.
Swami Dayanda Saraswati mendirikan gerakan yang disebut Arya Samaj. Ia yakin terhadap kebenaran Weda. Ia mengomentari kitab suci Weda secara keseluruhan berbeda sama sekali dengan komentar dari golongan tradisi (Smarta) maupun dengan golongan sarjana Indologi baik dari India maupun dari Eropa.

Swami Dayananda Saraswati mengatakan, setiap orang berhak membaca kitab Weda. Ia menekankan ajaran-ajarannya: menentang penyembahan patung; menolak adanya awatara; menolak kepercayaan kepada takhayul dan kekuatan gaib; menentang kebohongan kitab Smrti, termasuk kitab Itihasa dan Purana; menentang adanya kasta; menentang pelaksanaan yajnya (korban binatang); menentang pemujaan dan upacara untuk leluhur; menentang melakukan tirthayatra; mengakui setiap orang dari kasta apa pun bisa menjadi pendeta; menentang membuat dan mempersembahkan sesajen; dan menentang pembuatan kuil-kuil.




Arya Samaj ini mengatakan, guna membersihkan agama Hindu dari semua takhayul dan mendapatkan kebenaran sejati, hanya dapat dicapai dengan “kembali ke Weda” (go back to Veda).Pemimpin terkenal lain Gerakan Revivalis, gerakan Hindu Modern, adalah Ramakrishna Paramangsha, guru Swami Wiwekananda. Ramakrishna Mission kemudian didirikan oleh Swami Wiwekananda untuk menghormati dan menyerbarkan ajaran-ajaran gurunya. Tidak seperti gerakan-gerakan reformis lain gerakan Hindu Modern yang muncul berdasarkan pemikiran para sarjana yang berpendidikan Barat, Rama Krisna adalah salah seorang revivalis yang muncul dari pemikiran secara tradisi dengan mencampur ajarannya dengan ajaran Islam, Kristen, dan lain-lain. Ia mendasarkan ajarannya sedemikian rupa karena menyadari, semua agama memiliki tujuan sama. Menurut dia, kepercayaan pada agama itu nomor dua. Terpenting adalah setiap orang akan menjadi suci apabila orang mempersembahkan dirinya sendiri kepada Tuhan berdasarkan cinta kasih dan melayani tetangganya dengan penuh kasih sayang. Apabila hal ini dilakukan, maka orang tak perlu beralih agama ke agama lain.

Persatuan dengan Tuhan harus dicari penganut Kristen menurut ajaran Kristen. Demikian pula tafakur pada Tuhan harus dicari orang Islam menurut agama dan kepercayaan Islam. Sedangkan untuk orang Hindu harus mencari menurut agama Hindu untuk dapat bersatu dengan Tuhan.Gerakan Theosophy memberikan spirit sangat besar pada kebangkitan kembali agama Hindu. Hal ini sangat dirasakan pemimpin agama Hindu dan menyebarkannya secara luas, terutama pasca India merdeka. Mereka menyebarkan agama Hindu modern dalam wujud baru yang lebih segar dan berpandangan jauh berbeda daripada yang disebut Hindu Orthodoks (kuno). Mereka membuat berbagai asram untuk menyebarkan ajaran dan idenya dengan menafsirkan ajaran Hindu berdasarkan tafsiran mereka sendiri, kemudian mengolah dengan pandangan, cara, dan pola berpikir Barat, serta menurut pandangan Islam dan Kristen.Sampradaya yang muncul setelah India merdeka ini adalah Sai Baba, Ananda Marga, Brahma Kumaris, Babaji, Radhaswomi Satsang, Mataji Shri Nirmala Devi, Shri Ravi Shankar, Swami Dhananjoy Des Kathia Babaji, Mata Amritanandamayi Devi, Sadguru Jaggi Vasudev, Bhagwan, Swami Chinmananda, Babaji Haidakhana dengan Chinmaya-Mission. .
Adapun Krisna Consciousness atau Hari-Rama Hari Krisna yang juga disebut Krisna Balaram (di Indonesia ) muncul dan lahir di Amerika. Dari sini menyebar ke India, Indonesia, dan seluruh dunia. Hari-Rama Hari Krisna (ISCON) ini didirikan A.C. Bhakti Wedanda, lebih terkenal dengan sebutan Prabhupada.

Prof Dr Rao mengatakan, kini, dari semua gerakan pembaharuan yang tersebut di atas, beberapa di antara mereka ini ada yang masih berfungsi namun kekuatan, kegiatan, dan tenaganya sudah mulai berkurang dan tidak seperti dahulu ketika awal dirintis. Setelah itu mulailah sampradaya mencari daerah-daerah baru di luar India. Di sana orang-orang asing memberikan sokongan kuat, baik moral maupun meterial.
oleh

Tjokorda Rai Sudartha pada Majalah TATWA
No. 82/ Tahun VIII Februari 2007
Diringkas oleh I.P. ROMY JUNIARTHA
TRI GUNA

Pengertian

Pada hakekatnya manusia merupakan makhluk yang paling sempurna di antara makhluk yang diciptakan oleh sang hyang widhi wasa. Manusia adalah makhluk individu dan juga sekaligus makhluk social. Sebagai makluk sosial. Sebagai makhlik individu manusia memiliki hak dan kewajiban, memiliki rasa ego yang berbada – beda satu dengan yang lainnya. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri, melainkan selalu bergantungan pana orang lain, baik itu kepada sesama maupun kepada lingkungan. Untuk itu diperlukan tingkah laku yang disebut “SUSILA” sehingga hubungan dapat menjadi harmonis. Dalam bertingkah laku manusia dipengaruhi oleh “TRIGUNA” jadi yang akan jelaskan pada segmen ini adalah pengertian dari pada triguna
1. Triguna berasal dari dua kata yaitu TRI dan GUNA.
Tri yang artinya tiga sedangkan
Guna berati sifat,
jadi Triguna adalah tiga sifat yang mempengaruhi manusia atau seseorang dari sejak lahir sampai mati.
2. Pembagian Triguna terdiri
satwam, rajas, dan tamas.
Satwam adalah sifat dari pada manusia yang memancarkan sifat tenang, bahagia, tulus, dan tanpa pamrih.
Rajas adalah suatu sifat dari manusia yang memancarkan sifat ambisius, dinamis, gelisah, dan mengharapkan suatu imbalan.Sedangkan

Tamas adalah suatu sifat dari pada manusia yang memancarkan sifat pasit, malas, lamban.

Secara umum dikatakan bahwa Triguna adalah tiga macam sifat dari pada manusia yang mempengaruhi kehidupan dari pada manusia.triguna terdapat pada setiap manusia yang hanya saja ukurannya yang berbeda – beda. Triguna merupakan tega macam elemen atau nilai – nilai yang ada hubungannya dengan karakterdari makhluk hidup khususnya pada manusia. Ada seloka yang mengatakan bahwa pikiran yang tenang itu sattwam namanya, yang bergerak cepat itu rajah namanya, yang berat, gelap, itulah tamah namanya.
3. pengaruh triguna terhadap kepribadian manusia

Menurut ajaran agama hindu, triguna ada dalam diri manusia yang di bawa sejak lahir. Triguna merupakan tiga sifat yang mempengaruhi kehidupan manusia, sehingga dapat kita lihat di dunia ini ada bermacam – macam kecendrungan sifat dari pada manusia. Ada orang yang berpenampilan lemah – lembut selalu ramah dan menyenangkan bagi yang melihat. Namun ada juga orang yang rajin, kreatif serta energik dalam kehidupannya. Selain hal tersebut diatas tidak jarang pula kita melihat ada pula orang berpenampilan tidak rapi, tidak terurus dan pemalas. Semua penampilan tersebut disebabkan oleh adanya pengaruh dari pembagian – pembagian dari pada triguna yang tidak seimbang. Namun sebaliknya jika ketiga sifat ini berjalin dengan harmonis maka seseorang akan dapat mengendalikan pikirannya dengan baik.